Hal itu diungkap peneliti dan pemerhati transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Harya Setyaka dan Tory Damantoro dalam Lokakarya Wartawan tentang bus rapid transit (BRT) yang diselenggarakan ITDP Pecenongan, Jakarta Pusat, Jumat (5/6) siang.
Terkait dengan pembangunan sistem angkutan umum massal cepat berbasis bus atau BRT, Harya mengatakan, warga kota, sebagai pengguna layanan BRT yang dilayani pemerintah memiliki peran besar dalam menyukseskan peran BRT di Ibu Kota.
“Karena itu, budaya bertransportasi warga Jakarta sudah selayaknya diperbaiki. Artinya, kebiasaan antre, menunggu bus pada tempatnya, harus menjadi budaya yang terus ditingkatkan. Tanpa itu, sulit agaknya BRT diterapkan,” katanya.
Dia menyatakan, harus ada sinergi yang kuat dalam penerapan sistem BRT. “Harus ada kemauan politik (political will) yang kuat dari pemda juga tekanan politik (political pressure) dari masyarakat,” ujarnya.
Pemda sebagai penyelenggara kota, menurutnya, harus membenahi sistem transportasi di Jakarta dengan serius. Lima tahun sudah kota ini memiliki TransJakarta sebagai salah satu alternatif mobilitas warganya. Namun, kemacetan tidak juga terpecahkan. Alih-alih mengurangi kemacetan, TransJakarta dengan jalur khususnya malah memperparah kondisi lalu lintas, terutama pada jam-jam macet (rush hour).
Tory Damantoro menambahkan, dengan persoalan kemacetan yang semakin memburuk, Pemda dituntut mengembangkan alternatif sistem transportasi yang setidaknya mencakup tiga faktor penting, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan.